Sunday, March 9, 2025

Menjelajah Rasa dan Rasa Diri: Review Novel Aruna dan Lidahnya


Aruna dan Lidahnya || Laksmi Pamuntjak || @bukugpu ||  2014 || 384 halaman 

Rate : 5/5 ⭐


Hi Annyeong Teman Nunna

Sehat kan hari ini? Bagaimana jalannya puasa hari ini? Semoga semua sehat dan lancar ya puasanya. Kali ini Nunna mau ajak kalian untuk membaca buku Aruna dan Lidahnya.

Ada sebuah keindahan tersendiri dalam menyantap makanan yang lebih dari sekadar mengenyangkan perut—ia bisa mengungkap cerita, menghadirkan kenangan, dan membuka jendela baru tentang kehidupan. Inilah yang saya rasakan saat membaca Aruna dan Lidahnya, sebuah novel karya Laksmi Pamuntjak yang tidak hanya menawarkan petualangan kuliner tetapi juga perjalanan batin seorang perempuan bernama Aruna.

Buku ini membawa saya ke dalam dunia rasa, rempah, dan percakapan yang hangat, sambil menyelipkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang kehidupan, persahabatan, dan kejujuran. Lewat gaya bercerita yang lincah dan deskriptif, Laksmi Pamuntjak mengajak pembaca berkelana bersama Aruna ke berbagai kota di Indonesia, mencicipi beragam hidangan lokal, dan menyelami kegelisahan yang muncul di sela-sela gigitan dan tegukan.

Bagi pencinta makanan, novel ini bisa menjadi hidangan yang memanjakan indera. Tapi bagi saya, Aruna dan Lidahnya lebih dari sekadar buku tentang kuliner. Ia adalah refleksi tentang bagaimana kita mencari makna dalam kehidupan, dan bagaimana makanan bisa menjadi bahasa yang membangun hubungan, sekaligus menjadi cermin diri.


Pertemuan dengan Aruna: Perempuan, Makanan, dan Kegelisahan

Aruna adalah seorang epidemiolog yang bekerja untuk meneliti kasus flu burung di Indonesia. Profesi ini membawanya dalam perjalanan dinas ke berbagai daerah, di mana ia sekaligus memanfaatkan kesempatan untuk menjelajah kuliner lokal bersama dua sahabatnya, Bono dan Nad.

Bono, seorang koki eksperimental, dan Nad, seorang kritikus kuliner, adalah dua karakter yang memperkaya dinamika cerita. Keduanya memiliki pandangan yang sangat berbeda terhadap makanan. Jika Bono memandang makanan sebagai bentuk seni dan eksplorasi, Nad lebih melihatnya dari sisi sosial dan budaya. Di antara mereka, ada Aruna yang lebih pragmatis dan terkadang skeptis terhadap romantisasi makanan.

Perjalanan mereka bertiga tidak hanya tentang berburu makanan enak, tetapi juga membongkar berbagai realitas sosial dan politik yang menyelimuti industri pangan dan kesehatan di Indonesia.

Petualangan Rasa: Kuliner Sebagai Identitas dan Ingatan

Membaca Aruna dan Lidahnya seperti melakukan perjalanan kuliner dari satu kota ke kota lain. Kita dibawa ke Surabaya, Pamekasan, Pontianak, hingga Singkawang, mencicipi hidangan khas yang masing-masing menyimpan cerita.

Saat Aruna dan teman-temannya menikmati rawon di Surabaya, saya bisa hampir mencium aroma kuah hitam pekat yang kaya akan keluak. Saat mereka menyantap mi kepiting di Pontianak, saya bisa membayangkan gurihnya kuah dan rasa manis daging kepiting yang segar. Setiap deskripsi makanan yang ditulis Laksmi begitu detail dan menggugah, seakan-akan kita ikut duduk di meja bersama mereka, mencicipi setiap suapan dengan penuh rasa ingin tahu.

Namun, makanan dalam novel ini bukan sekadar objek konsumsi. Ia menjadi medium untuk mengingat, mengenali diri, dan memahami orang lain. Bagi Bono, makanan adalah karya seni. Bagi Nad, makanan adalah narasi sejarah. Sedangkan bagi Aruna, makanan mengingatkannya pada masa lalu, pada ibu yang dingin dan masa kecil yang penuh pertanyaan.

Saya merasa bahwa di balik petualangan kuliner ini, tersimpan kegelisahan Aruna terhadap identitasnya sendiri. Ia bertanya-tanya, apakah makanan yang kita makan membentuk siapa kita? Apakah rasa yang kita cari adalah cerminan dari pencarian diri?

Lapisan Politik di Balik Rasa

Di luar pesona makanan, novel ini juga menyisipkan kritik sosial dan politik yang cukup tajam. Sebagai epidemiolog, Aruna melihat bagaimana proyek penelitian flu burung yang ia jalani dipenuhi ketidakberesan. Ada indikasi kepentingan bisnis yang lebih besar daripada kepentingan kesehatan publik.

Laksmi Pamuntjak dengan cerdas memasukkan isu ini tanpa menggurui. Ia membiarkan pembaca memahami bahwa bahkan dalam urusan kesehatan, ada politik yang bermain. Bahwa di balik setiap laporan epidemi, ada kepentingan ekonomi dan kekuasaan yang sering kali lebih berpengaruh daripada sains itu sendiri.

Bagi saya, ini menjadi salah satu aspek menarik dalam novel ini. Ia tidak hanya mengajak kita menikmati makanan, tetapi juga berpikir lebih jauh tentang bagaimana makanan, kesehatan, dan politik saling berkaitan.

Dinamika Hubungan: Persahabatan, Cinta, dan Kejujuran

Selain eksplorasi kuliner dan isu sosial, novel ini juga menyajikan kisah hubungan manusia yang kompleks. Aruna, Bono, dan Nad bukan sekadar tiga orang yang berbagi perjalanan; mereka adalah tiga individu dengan pandangan berbeda yang saling mempertanyakan dan menantang satu sama lain.

Persahabatan mereka terasa nyata, penuh percakapan yang tajam dan kadang menyebalkan. Ada saat-saat di mana mereka berdebat, mempertanyakan prinsip masing-masing, bahkan meragukan ketulusan satu sama lain.

Dan di antara mereka, ada Farish—atasan Aruna yang juga merupakan bagian dari masa lalunya. Kehadirannya membawa konflik emosional bagi Aruna. Ia harus menghadapi perasaan yang selama ini ia abaikan, sekaligus mencari tahu apakah ia bisa benar-benar jujur pada dirinya sendiri.

Bagian ini menurut saya menambah kedalaman cerita. Bahwa perjalanan yang dilakukan Aruna bukan hanya tentang mencari rasa terbaik dalam makanan, tetapi juga mencari kebenaran dalam hidupnya sendiri.


Bahasa yang Puitis, Deskripsi yang Menggugah

Salah satu kekuatan terbesar novel ini adalah gaya bahasa Laksmi Pamuntjak yang indah dan penuh nuansa. Ia tidak sekadar menuliskan makanan, tetapi meraciknya seperti hidangan yang kompleks—dengan kata-kata yang kaya rasa, detail yang renyah, dan emosi yang mengalir lembut.

Saya terkesan dengan bagaimana ia menggambarkan sebuah hidangan dengan begitu hidup, seolah-olah makanan itu bukan sekadar sesuatu yang bisa dimakan, tetapi juga bisa dirasakan dengan seluruh panca indera.

Namun, bagi sebagian pembaca, gaya bahasa ini mungkin terasa agak berat. Ada bagian-bagian yang penuh dengan metafora dan deskripsi panjang yang bisa terasa melelahkan. Tapi bagi saya, justru di situlah letak pesonanya. Setiap kalimat dalam novel ini seperti bumbu yang harus dinikmati perlahan, agar rasa yang terkandung di dalamnya bisa benar-benar terasa.

Aruna dan Lidahnya Lebih dari Sekadar Novel Kuliner

Aruna dan Lidahnya bukan hanya cerita tentang makanan, tetapi juga tentang bagaimana kita memandang kehidupan, bagaimana kita mencari kebenaran, dan bagaimana kita menemukan diri sendiri di antara rasa dan ingatan.

Novel ini mengajarkan bahwa makanan bukan sekadar sesuatu yang mengenyangkan, tetapi juga sesuatu yang bisa menghubungkan kita dengan masa lalu, dengan orang lain, dan dengan siapa diri kita sebenarnya.

Bagi saya, membaca novel ini seperti menikmati hidangan yang kaya rasa—ada manisnya nostalgia, asin dan pahitnya kenyataan, serta pedasnya pertanyaan yang mengusik pikiran. Ia bukan bacaan ringan yang bisa dilahap dalam sekali duduk, tetapi seperti hidangan tradisional yang dibuat dengan penuh ketelatenan—memerlukan waktu untuk benar-benar dihargai.

Jadi, jika kamu mencari novel yang lebih dari sekadar cerita perjalanan atau eksplorasi kuliner, Aruna dan Lidahnya bisa jadi pilihan yang tepat. Ini adalah buku yang akan membuatmu lapar—bukan hanya lapar makanan, tetapi juga lapar akan pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan.

0 comments:

Post a Comment