Wednesday, March 12, 2025

Dari Buku ke Layar : Membaca Ulang Gadis Kretek versi Sinema

 


Hi Annyeong Teman Nunna 

Beberapa waktu lalu di dunia entertainment Indonesia ramai dengan hybe baru. Udah pernah dengar hura hara tim Jeng Yah dan tim Raja ga? Kalau gak coba cek sosial media kalian deh. Yang sudah tahu, iyap betul, ini tentang serial yang tayang di Netflix, Gadis Kretek. Kalau kalian ingat, Nunna pernah menuliskan review tentang novelnya yang berjudul sama Gadis Kretek karya Ratih Kumala. Yang belum tahu, boleh cek dulu tulisan Nunna di : Review Gadis Kretek

Nah, lanjut yah. Waktu dapat info kalo Gadis Kretek mau diadaptasi dalam bentuk serial film di Netflix, satu hal yang muncul pertama kali adalah penasaran. Bagaimana para sineas film itu akan menerjemahkan karya novel yang secara cerita sudah kuat, ke bentuk baru. Terlebih saat tahu aktor pemerannya. Beuh... Ada Dian Sastrowardoyo, Ario Bayu, Ine Febriyanti, Putri Marino, Sheila Dara, Arya Saloka, dan banyak nama aktor besar lainnya. Makin penasaran lah Nunna. 

Gadis Kretek merupakan novel karya Ratih Kumala yang kemudian diadaptasi menjadi serial Netflix pada 2023. Keduanya menghadirkan kisah yang kuat tentang industri kretek, sejarah keluarga, serta percintaan dalam balutan budaya patriarki. Namun, ketika dibandingkan, baik novel maupun serial memiliki pendekatan yang sedikit berbeda, terutama dalam hal feminisme dan kisah cinta.

Dasiyah sebagai Perempuan Jawa yang Mandiri

Dalam novel dan serialnya, Dasiyah atau Jeng Yah adalah seorang perempuan Jawa yang tumbuh di lingkungan industri kretek. Sebagai anak dari pemilik bisnis kretek, Dasiyah memiliki bakat luar biasa dalam meracik saus kretek—sebuah keterampilan yang sangat berharga dalam bisnis ini. Namun, dunia tempatnya bernaung masih didominasi oleh laki-laki, yang menganggap perempuan hanya bisa menjadi buruh pelinting rokok, bukan pemimpin atau inovator dalam bisnis kretek.

Dalam novel, Dasiyah digambarkan sebagai perempuan yang memiliki pemikiran modern meskipun hidup dalam budaya Jawa yang masih kuat dengan tradisi. Ia tidak hanya sekadar mendukung usaha keluarganya, tetapi ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa mengambil peran penting dalam industri ini. Namun, posisinya sebagai perempuan membuatnya terus mendapat tekanan sosial, baik dalam hal pekerjaan maupun kehidupan pribadinya.

Di serial, hal ini diperlihatkan dengan lebih dramatis. Peran Dasiyah yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo menunjukkan bagaimana ia harus berjuang untuk mendapatkan tempat di industri kretek yang penuh dengan diskriminasi gender. Dalam beberapa adegan, terlihat bagaimana Dasiyah harus melawan pandangan konservatif yang menganggap perempuan tidak pantas berada di bisnis ini


Representasi Feminisme dalam Gadis Kretek

Dalam novel, tokoh utama Dasiyah atau Jeng Yah digambarkan sebagai perempuan tangguh yang menolak tunduk pada sistem patriarki. Ia memiliki keahlian meracik saus tembakau, sesuatu yang pada masanya lebih didominasi laki-laki. Keinginannya untuk tetap berkarya di tengah tekanan sosial menunjukkan unsur second-wave feminism, yang menekankan kebebasan perempuan dalam karier dan hak menentukan hidupnya sendiri.

Sementara dalam serial, feminisme tetap menjadi tema utama, tetapi ada sedikit pergeseran fokus. Berdasarkan analisis kritis, serial ini menghadirkan perjuangan perempuan dalam menghadapi patriarki, termasuk bagaimana pria seperti Soeraja justru menjadi bagian dari sistem yang membelenggu Jeng Yah. Selain itu, peran laki-laki dalam mendukung feminisme juga mendapat sorotan dalam adaptasi ini, menunjukkan bahwa kesetaraan gender bukan hanya perjuangan perempuan saja.

Serial ini juga menyoroti multiple roles perempuan, terutama bagaimana Dasiyah harus menyeimbangkan perannya sebagai pekerja, kekasih, dan bagian dari keluarga. Hal ini memperkaya narasi feminisme yang tidak hanya tentang melawan patriarki, tetapi juga tentang bagaimana perempuan menghadapi kompleksitas hidup mereka.

Kisah Cinta yang Dramatis dan Tragis

Baik dalam novel maupun serial, kisah cinta antara Dasiyah dan Soeraja menjadi pusat cerita. Hubungan mereka penuh konflik, terhalang oleh latar belakang sosial dan ambisi masing-masing. Kisah cinta antara Dasiyah dan Soeraja menjadi salah satu aspek penting dalam cerita ini.

Dalam novel, hubungan mereka digambarkan penuh tantangan karena perbedaan status sosial. Soeraja, yang awalnya hanya seorang pekerja biasa, harus menghadapi tekanan dari keluarga dan lingkungan sekitar yang tidak menyetujui hubungannya dengan Dasiyah. Di sisi lain, Dasiyah juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa dalam masyarakat patriarki, cinta sering kali bukan satu-satunya faktor dalam menentukan pasangan hidup.

Hubungan mereka lebih bernuansa melankolis dan simbolis, menggambarkan bagaimana cinta sering kali harus berhadapan dengan realitas yang pahit. Namun, serial lebih menonjolkan aspek drama epik, di mana hubungan mereka ditampilkan dengan lebih banyak ketegangan emosional. Chemistry antara Dian Sastrowardoyo (Dasiyah) dan Ario Bayu (Soeraja) sangat kuat, membuat penonton semakin terhanyut dalam kisah mereka.

Serialnya mengangkat kisah ini dengan lebih emosional dan dramatis. Soeraja tidak hanya menjadi sekadar pasangan, tetapi juga bagian dari perjuangan Dasiyah dalam menghadapi diskriminasi di pabrik kretek. Kisah cinta mereka juga diperumit dengan intrik keluarga dan konflik politik, yang semakin memperlihatkan bagaimana perempuan sering kali menjadi korban dalam dinamika sosial yang tidak adil.

Selain itu, serial juga mengeksplorasi hubungan Arum (Putri Marino) dan Lebas (Arya Saloka) dengan cara yang lebih dinamis dibandingkan dalam novel. Ada tambahan konflik yang membuat hubungan mereka lebih kompleks, menciptakan drama yang lebih menarik untuk dinikmati.

Perbedaan Naratif: Flashback dan Struktur Cerita

Baik novel maupun serial menggunakan teknik alur mundur (flashback), tetapi ada beberapa perbedaan dalam cara penceritaannya:

Novel: Penceritaan lebih berfokus pada sudut pandang Soeraja yang mengenang masa lalunya bersama Dasiyah. Alur mundur dalam novel lebih terstruktur dalam rangkaian kenangan, membuat pembaca perlahan mengungkap kisahnya.
Serial: Menggunakan alur lebih dinamis, di mana setiap karakter memiliki porsi untuk bercerita. Hal ini memberikan sudut pandang yang lebih luas, tidak hanya dari perspektif Soeraja, tetapi juga dari Arum dan Lebas, yang sedang mencari tahu masa lalu ayah mereka.

Pendekatan ini membuat serial terasa lebih dramatis dan emosional, dibandingkan novel yang lebih subtil dalam menyampaikan tragedi cinta dan sejarah keluarga.

Atmosfer dan Visualisasi

Salah satu kekuatan terbesar serial Gadis Kretek adalah sinematografinya. Setting tahun 1960-an berhasil divisualisasikan dengan sangat detail, mulai dari arsitektur, pakaian, hingga suasana industri kretek. Warna-warna yang digunakan juga memberikan nuansa nostalgia dan klasik, memperkuat atmosfer masa lalu.

Namun, serial ini juga menghadapi tantangan, yaitu bagaimana menggambarkan budaya kretek tanpa terkesan mengglorifikasi rokok. Beberapa adegan memperlihatkan pembuatan dan konsumsi kretek sebagai bagian dari budaya, tetapi ada kritik bahwa hal ini bisa dianggap sebagai normalisasi rokok.




Mana yang Lebih Baik?
Gadis Kretek dalam bentuk novel maupun serial sama-sama menghadirkan kisah yang kuat dan penuh makna. Jika dilihat dari perspektif feminisme, novel lebih subtil dalam menyampaikan perlawanan perempuan, sementara serial lebih eksplisit dalam menunjukkan perjuangan perempuan di era patriarki. Dalam hal kisah cinta, novel lebih puitis dan melankolis, sedangkan serial lebih dramatis dan emosional.

Bagi yang menyukai eksplorasi karakter yang lebih dalam dan penuh simbolisme, novel adalah pilihan terbaik. Namun, bagi yang ingin menikmati cerita yang lebih dramatis dengan visual yang memanjakan mata, serialnya jelas tidak boleh dilewatkan.

Bagaimana menurutmu? Lebih suka versi novel atau serialnya?

0 comments:

Post a Comment