The Da Vinci Code | Dan Brown | Penerbit Serambi | Cetakan XXV, September 2006 | 641 halaman
Rate : 5/5 ⭐
Hai Annyeong Teman Nunna
Kali kedua di bulan ini mencoba re-read buku yang lama. Kali ini jatuh pada The Da Vinci Code karya Dan Brown. Pemilihan judul ini karena challenge dari Robusta Literasi dan yah, mari kita mulai. Pertama kali membaca novel ini di 2007 dan setelah 18 tahun kemudian memang berbeda sih rasanya. Karena setelah baca dulu, saya pernah nonton filmnya. Dan tentu saja pengalaman pembacaan dan informasi yang saya dapat belasan tahun ini membuat saya memiliki referensi yang berbeda. Tapi, untuk kali ini, ulasannya dengan POV first reader aja yah, tentunya yang ramah dibaca untuk Teman Nunna di manapun berada.
Saat pertama kali baca novel The Da Vinci Code, saya pikir yah ini mah novel misteri biasa yang penuh teka-teki untuk dipecahkan dan konspirasi sejarah dan agama. Tapi begitu buka halaman pertama… boom! Langsung kejebak dalam dunia simbol, sejarah, dan kejar-kejaran ala film action. Dan Brown nggak pake basa-basi—dia langsung ngasih adegan pembunuhan di museum Louvre, Paris. Yup, di sinilah semuanya dimulai.
Jacques Sauniere, kurator museum adalah korban pertama yang mati dalam posisi mencurigakan. Polisi menemukan fakta bahwa Sauniere meninggalkan pesan misterius sebelum ia meninggal. Polisi Prancis langsung manggil Robert Langdon, seorang profesor simbologi dari Harvard, buat bantu ngartiin simbol-simbol aneh yang ditemukan di tubuh korban.
Tapi bukannya jadi ahli yang dimintai tolong, Langdon malah dituduh sebagai tersangka pembunuhan! Gila, dari sini situasinya langsung kacau. Untungnya dia dibantu oleh Sophie Neveu, cucu korban, yang juga seorang ahli kriptografi. Mereka kabur dari kejaran polisi dan mulai menelusuri teka-teki yang ditinggalkan oleh sang kakek.
Nah, inilah yang bikin saya gak bisa berhenti baca. Setiap petunjuk yang mereka temukan selalu terhubung ke sejarah kuno, lukisan terkenal (terutama karya Leonardo da Vinci), dan organisasi rahasia seperti Opus Dei dan Prioriy of Sion. Semuanya terasa misterius tapi tetap masuk akal. Kamu serasa lagi ikut main escape room raksasa, cuma bedanya ini keliling Eropa dan nyawa jadi taruhannya.
Nah yang menarik dan seru, penulis Dan Brown tuh kuat banget risetnya dan jago banget mengolah fakta sejarah, konspirasi, menjadi karya fiksi. Kamu bisa dapat pengetahuan soal karya seni, sejarah gereja, bahkan teori tentang kehidupan Yesus—semuanya dibungkus dengan gaya penulisan yang tegang tapi tetap enak diikuti. Walau kadang harus mikir keras, tapi justru itu daya tariknya.
Karakter Robert Langdon juga menarik. Dia bukan tipe pahlawan yang jago berantem atau keren kayak James Bond. Dia lebih ke “pahlawan intelektual” yang menang lewat otak, bukan otot. Dan Sophie? Dia bukan cuma sidekick biasa—dia punya peran besar, terutama karena misteri utama ternyata berkaitan erat sama masa lalunya.
Satu hal yang bikin novel ini sempat heboh adalah temanya yang menyentuh hal-hal sensitif, terutama soal agama dan sejarah gereja. Menurut saya, kalo kamu cari pembenaran tentang teori konspirasi ini itu, novel ini hadir tidak untuk membenarkannya. Ini fiksi, dan Dan Brown hanya ngajak pembaca buat mikir: “Gimana kalau sejarah yang kita tahu selama ini nggak lengkap?” Seru aja sih mikir kayak gitu, meskipun tentu nggak semuanya harus dipercaya mentah-mentah.
The Da Vinci Code adalah novel thriller yang cerdas, seru, dan bikin mikir. Cocok banget buat kamu yang suka misteri dengan bumbu sejarah dan konspirasi. Baca ini rasanya kayak ikut petualangan yang penuh kode, rahasia, dan twist yang nggak ketebak. Dan percayalah, setelah membaca novel ini, kamu tidak akan lagi sama dalam memandang sejarah, seni, dan konspirasi yang berpusar di atas dunia ini.
Selamat membaca.
Saranghae, Nunna.